113 views

Pro Strategic Foundation Pelototi Pilkada 5 Kabupaten se – Lampung

HARIANFOKUS.com – Provinsi Lampung telah sukses mengawinkan pilgub dan pileg pada tahun 2014 lalu serta pilkada serentak jilid satu di 8 kabupaten/kota tahun 2015 lalu. Sehingga tidak berlebihan jika pesta demokrasi di Lampung menjadi barometer politik nasional. Namun demikian, ada beberapa persoalan klasik seperti Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan politik uang tentunya menjadi catatan kelam bagi penyelenggara serta peserta pemilu di tanah Sai Bumi Rua Jurai ini.

Dalam diskusi politik pada hari Jumat, (10/2) pukul 14.00- sd 16.30 WIB yang digelar Pro Startegic Foundation, menyoroti tentang pilkada di Lampung, evaluasi penyelenggaraannya, dimulai dari Pilgub 2014, pilkada serentak jilid satu, Desember 2015, serta kajian menuju pilkada jilid satu Februari 2107. Tidak lupa juga dikaitkan dengan pileg 2014, pilpres 2014 dan juga refleksi pada pilkada kabupaten/kota  di Lampung pada tahun 2010 sd 2013.

Salah satu narasumber, Robi Cahyadi K menyampaikan, permasalahan pilkada di Lampung yang paling krusial adalah pendataan pemilih yaitu masalah keakuratan data Daftar Pemilih Tetap (DPT), pembelian suara (vote buying), politik uang, relasi atasan dan bawahan (patron klien), netralitas birokrasi dalam pilkada, dan netralitas penyelenggara (KPU, Panwaslu).

“Berkaca kepada hasil pilkada serentak jilid satu, Desember 2015 lalu, ada beberapa catatan untuk Lampung, yakni angka partisipasi pemilih  yang rata-rata hanya 68 %, jauh dari target nasional sebesar 77,5%, serta munculnya budaya permisif di kalangan pemilih,” kata Dosen Fisip Unila ini.

Dijelaskan kandidat Doktor Unpad ini,budaya permisif yakni serba membolehkan atau suka mengijinkan terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu.

“Permisif merupakan pembolehan terhadap suatu bentuk perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas, akan tetapi seiring waktu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan diperbolehkan,” ungkapnya.

“Pemilih tidak mempunyai kontrol dan melihat rekam jejak calon, misal mantan narapidana, koruptor, perilaku sex menyimpang, kutu loncat politik, narkoba, harta tidak wajar, preman (black local strongmen), dan perilaku lainnya yang tabu atau tidak pantas,” tambahnya.

Sementara Dosen Fakultas Ekonomi Unila, Usep Syaifudin menuturkan, bahwa pilkada tidak dapat dilihat dari kontek politik saja, tapi dari sisi ekonomi juga.

“Pilkada tidak bersinggungan langsung dengan kenaikan angka pertumbuhan ekonomi daerah, terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan PAD atau realisasi janji dalam Visi Misi Calon Kada,” ujar Usep.

Pria kelahiran Lampung Timur yang juga kandidat Doktor UI ini juga menerangkan, bahwa relasi pilkada dalam konteks ekonomi perlu diperdebatkan kembali dan dikaji secara mendalam.

“Pilkada dalam perspekstif ekonomi khususnya keuangan daerah hanya bersifat menggerus anggaran daerah di APBD untuk pelaksanaannya. Politik ekonomi terlihat dalam penentuan project-project gentong babi (pork barrel), yaitu projek yang  seolah-olah untuk rakyat namun keuntungannya adalah untuk pejabat dan kepala daerah,” terangnya.

Demikin juga disampaikan, Fitra Dharma bahwa, perlu kiranya masyarakat lebih jeli, dan memasang panca indra untuk mengawasi pelaksanaan pilkada, dengan membuang budaya permisif serta melibatkan all civil society, untuk menagih janji kampanye serta Visi Misi yang ditawarkan para Kepala Daerah.

“Mengutip pendapat Thomas Lickhona (1991) faktor permisivisme dan kaburnya pandangan moral dan hilangnya keyakinan akan kebenaran sebagai faktor hancurnya sebuah negara dan peradaban masyarakat,” tegasnya.

Diskusi politik ini dihadiri oleh Pembina Yayasan, Dr. H. Ayi Ahadiat, M.Si yang juga dosen pada Fakultas Ekonomi Unila, dan  dibuka oleh Ketua Yayasan H. Dadang Iskandar, M.Si, serta sekretaris yayasan Maulana Rochdiyat. (win)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *