13 views

Soal Perasaan

DINDA tampak terpaku saat sowan Kakung, yang sejak beberapa bulan seluruh aktivitasnya hanya dijalankan di tempat tidur. Sesekali ia tinggalkan tempatnya dengan dibopong ke kursi roda. Baru bisa ekspresikan geliat semangatnya.

“Kasian liat Kakung ya, mbak! Karena sakitnya jadi terbatas aktivitasnya!” ucap Gilang.

“Yah, kalo ngeliatnya dari sisi itu, emang kasian, dek! Kakung -kakek- yang sejak muda aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan dan politik kini seakan terampas semua kredibilitasnya akibat kecelakaan lalu lintas itu! Tapi mendengar bicaranya, petuahnya, Kakung tetap sosok pejuang! Tetep figur yang penuh semangat! Yang selalu mengedepankan perasaan kemanusiaannya sebagai filter dari aliran pikiran, semangat dan ledakan egoismenya!” jelas Dinda.

“Jadi mbak pahami gimana Kakung lebih kedepankan suara perasaannya ya?!”

“Iya dek! Perasaan seseorang yang tak terjebak dalam keterbatasan pergerakan fisik! Perasaan seorang pejuang tak mengenal kepura-puraan dan merangkul kebatilan demi sebuah jabatan! Perasaan yang meletup-letup manakala mendialogkan suasana politik saat ini yang tak beretika lagi! Perasaan seorang ayah yang tetep ingin melindungi anak-anaknya walo sang anak sudah beranak-pinak! Perasaan ingin menurunkan semua kemampuannya bagi para cucu yang diyakini akan meneruskan trah kemurnian perjuangannya!”

“Nurut mbak, emang yang namanya perasaan itu amat penting ya?!” kata Gilang.

“Oh iya, pasti itu, dek! Perasaan atau suara hati itu adalah dimensi kemanusiaan kita yang paling dalam, dek! Dengan mengedepankan perasaan sebagai simbol pergerakan alur pikiran dan tubuh, kita takkan temukan kesukaran dalam kehidupan! Karena perasaan adalah alat ukur! Perasaan adalah sesuatu yang bisa diyakini menyenandungkan kebenaran, ketenangan dan kenyamanan buat diri kita sendiri! Perasaan jadi pengerem manakala alur pikir dan gerak tubuh mengarahkan pada lelakon yang tak berkebenaran! Perasaan adalah ekspresi kesucian cinta kasih yang menyambungkan hablum minan nash dan hablum minallah!”

“Kok mbak bisa mendefinisikan sedalam itu sih?”

“Mbak menyarikan itu semua dari dengerin Kakung cerita-cerita tadi lho, dek! Kita juga kan manfaatin sowan ini untuk banyak belajar dengan Kakung! Dia kan nggak cuma paham teori tapi juga pelaku! Jadi lebih bisa bijak dalam menguliti kehidupan ini!”

“Tapi kan kalo duluin perasaan aja bisa dibilang baper, mbak?!” sela Gilang.

“Jangan pernah takut dengan cap apapun yang ditempelkan ke kita karena kita melakoni sesuatu selaras dengan perasaan, dek! Walo emang, kita juga musti piawai menyeimbangkan suara perasaan dengan alur pikir dan realitas yang ada di zaman now ini! Perasaan bisa dihadirkan dalam beragam ekspresi yang menguatkan! Bukan melemahkan apalagi menghancurkan! Karenanya, perasaan harus terus diasah dengan penguatan ilmu ke-Ilahi-an! Dengan menyeruakkan beragam perkembangan yang ada! Sehingga yang disuguhkan adalah langkah atau tutur kata nan bijak, membaca arah angin ke depan serta sesuatu yang kita yakini akan kebenarannya!” tutur Dinda.

“Tadi Kakung bilang, dalam hal memilih pemimpin harus didiskusikan dengan perasaan setelah melalui proses penilaian-penilaian! Maksudnya apa sih, mbak?!”

“Maksudnya, kita harus yakini bener kalo sosok yang kita perjuangkan dan dipilih serta dimenangkan itu bener-bener yang terbaik dari yang baik, dek! Bukan cuma buat kita pribadi tapi buat masyarakat! Maka berkali-kali Kakung mengingatkan; dalam memperjuangkan sesuatu yang kita yakini, tak cukup pergerakan badan atau strategi yang lahir dari olah alam pikir! Tapi harus bener-bener dari hati! Dari keyakinan perasaan maksudnya! Harus tetep ada keseimbangan itu! Nggak bisa separuhnya saja dari potensi kemanusiaan kita!” ujar Dinda.

“Gimana kalo ternyata yang kita perjuangin nggak punya perasaan, mbak?” sela Gilang.

“Adek, siapapun selagi namanya manusia, pasti punya perasaan! Dan perasaan itu selalu mengedepankan kebaikan, kebersamaan sekaligus kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan sebagai makhluk! Jadi yakini saja, kalopun kita liat tampilan seorang pemimpin terkesan cuek dan tanpa ekspresi, sesungguhnya ia tengah mencari kesimpulan dari teraduk-aduknya sisi perasaannya! Dan dari khalwat batinnya yang terdalam, ia mampu melihat secara terang benderang siapa-siapa yang bener-bener bersamanya lahir batin! Karena perasaan tak tergantikan oleh uang dan jabatan! Sang pemimpin tau persis soal itu! Seperti juga Kakung yang tau gimana perasaan kita saat melihatnya kini dia tergantung pada orang lain!” kata Dinda sambil menatap Kakung yang tengah dibopong ke kursi rodanya untuk wudhu menjelang solat maghrib. (ยค)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *