189 views

Bicara Guru Jadi Camat

“LHO, baru jam 10 kok sudah pulang to, dek! Bukannya belajar tatap muka itu sampai jam 11.30?!” kata Dinda begitu melihat Gilang memarkir motornya di garasi.

“Mestinya emang selesai pelajarannya jam 11.30, mbak! Cuma guru agamanya nggak ada!” sahut Gilang sambil melepas helmnya.
“Walah, belum lagi seminggu belajar tatap muka, sudah nggak dateng gurunya! Emang kenapa gurunya, dek?!”

“Kata wali kelas, guru itu minggu kemarin dilantik jadi camat, mbak! Jadi pihak sekolah belum nyiapin penggantinya!” jelas Gilang.

“Apa..? Guru agama jadi camat? Nggak salah denger adek?!” sela Dinda. Terheran.

“Iya, emang gitu kata wali kelas tadi! Makanya kami disuruh pulang lebih cepet! Emang ada yang aneh ya kalau guru jadi camat, mbak?!” ucap Gilang sambil meminum air putih di gelas yang disodorkan Dinda.

“Ya anehlah, dek! Namanya guru itu spesifikasi tugasnya ya mengajar! Apalagi beralih jadi camat! Itu kan sudah keluar jauh dari pengetahuan dan pekerjaannya selama ini!”

“Emang camat itu apa tugasnya, mbak?” tanya Gilang.

“Sederhananya, camat itu pelaksana kegiatan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan, dan urusan-urusan lain yang berkaitan sama hubungan baiknya aparat pemerintah dengan masyarakat di kecamatan itu! Jauh bener kan tupoksinya sama seorang guru?!” urai Dinda panjang lebar.

“Jadi nggak boleh ya sebenernya guru jadi camat itu, mbak?!” lanjut Gilang.

“Bukan soal boleh nggak bolehnya, dek! Tapi lebih ke kelayakan dan profesionalisme spesifikasi kemampuan yang bersangkutan!” kata Dinda.

“Kata wali kelas adek tadi, guru agama jadi camat itu nggak ngelanggar aturan! Sesuai PP Nomor 11 tahun 2017 soal manajemen PNS, guru boleh diangkat lewat mutasi diagonal dari jabatan fungsional ke struktural, mbak!” ujar Gilang.

“Iya, mbak tahu aturan itu! Maka mbak bilang tadi, ini bukan soal boleh nggak bolehnya, dek! Lagian, nerjemahin aturan itu nggak bisa serta merta kayak gitu, tapi harus kontekstual!” jawab Dinda.

“Tapi prinsipnya kan boleh aja guru jadi camat, mbak?!”

“Jangan lupa, mutasi diagonal guru atau jabatan fungsional ke struktural itu juga mesti dilihat rasionya di daerah itu, dek! Inget lo, setiap ada penerimaan CPNS, kan alokasi prioritasnya selalu untuk jabatan fungsional guru! Ini karena kebutuhan guru yang bener-bener sangat kurang! Lha kalau tanpa kajian mendalam terus mutasiin guru jadi camat, kayak nggak paham tatanan birokrasi itu yang ngasih jabatan!” kata Dinda. Panjang lebar.

“Emang sering kejadian ya guru dijadiin camat gini, mbak?!” Gilang menyela.

“Sering kejadian emang, dek! Yang paling baru di Lampung Timur lewat rolling 8 September lalu! Ada guru yang diangkat jadi camat oleh bupatinya!”

“Oh ya..? Kali itu guru dari sekolah adek, mbak!” kata Gilang.

“Mana mbak tahu, dek! Yang jelas, apapun alasannya, pasti nggak rasional dalam kerangka tata aturan birokrasi hingga itu kejadian! Dan bisa dipastiin, kebijakan ngangkat guru jadi camat itu nyakitin perasaan PNS yang selama ini bertugas di lingkup pemerintahan!” kata Dinda setengah bergumam.

“Jadi maksudnya, bisa aja dengan kejadian nyeleneh lewat rolling gini bakal nggak bagus jalannya pemerintahan ke depan, gitu ya mbak?” tutur Gilang.

“Ya, bisa aja imbas negatifnya kemana-mana, dek! Kita perlu ingetin pada orang yang baru 7 bulan jadi Bupati Lamtim: ojo kagetan, ojo gumunan lan ojo dumeh! Sudah itu aja! Minggu besok adek pasti sudah punya guru agama baru lagi! Santai aja!” ucap Dinda sambil merangkul Gilang. Mengajak masuk ke rumah. (*)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *