89 views

Dugaan Suap APBD Tanggamus, Nursyahbana Didaulat Jadi Whistle Blower

HARIANFOKUS.COM – Gerakan Radikal Pemberantasan Korupsi (GRPK) mengusulkan kepada rakyat Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) supaya Wakil Ketua Komisi IV DPRD Tanggamus Nursyahbana diberikan kesempatan sebagai whistle blower

Menurut Ketua GRPK Ariefudin, KPK bertindak cepat dan memberikan kesempatan sejumlah anggota Dewan Tanggamus yang melaporkan dugaan suap oleh Bupati Tanggamus kepada anggota dewan setempat sebagai whistle blower.

“Kami sangat mengapresiasi dan memberikan dorongan penuh kepada Anggota Dewan Kabupaten Tanggamus yang berani buka-bukaan terkait dugaan suap Bupati Tanggamus untuk memuluskan pengesahan APBD Tahun 2016 kabupaten setempat. Seperti Wakil Ketua Komisi IV DPRD Tanggamus Nursyahbana, KPK harus menjadikan Beliau whistle blower.

Kepada HARIANFOKUS.COM, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Tanggamus Nursyahbana akhirnya berani membeberkan prihal kronologis darimana dirinya menerima aliran dana “pengesahan APBD 2016”.

Nursyahbana mengatakan, peristiwa berawal pada tanggal 8 Desember 2015 lalu, dirinya menceritakan, jika dia dipanggil Bambang melalui Ikhwani di ruang kerja bupati

“Saya menghadap bupati sekitar pukul 13.30 sore diruang kerjanya, awalnya Bupati menanyakan mengenai perkembangan partai Golkar. Lalu saya nyatakan kalau Golkar dalam keadaan aman terkendali. Setelah itu, bupati menyerahkan bungkusan hitam pada saya. Tak lama dari situ saya pamit pulang ke kantor (Gedung DPRD setempat,red), pas saya buka ternyata ada uang nominalnya lebih kurang Rp40 juta. Saya tidak menghitungnya, itu berdasarkan jumlah tumpukan dan nominal uang tiap gepoknya,” ujar Nursyahbana yang didampingi Heri Ermawan saat ditemui diruang Komisi IV, Rabu (23/12)

Lantaran tidak mengetahui uang tersebut untuk apa ? Nursyahbana kemudian menanyakan prihal ini ke Ketua Badan Kehormatan DPRD Nuzul Irsan.

Ternyata saat menanyakan uang dari bupati tersebut, sudah ada belasan anggota dewan lain yang lebih dulu melapor ke ketua BK. Merasa ada unsur gratifikasi, Nursyahbana beserta 12 anggota dewan lainnya berinisiatif melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota dewan yang ikut melapor KPK menurut Nursyahbana dari Golkar empat orang yakni dirinya, Hailina, Heri Ermawan dan Agus Munada, dari Gerindra Erlan Adianto, Diki Fauzi, Sumiyati, Farizal, dari PPP yakni Baharen, Ahmad Farid dan Nasdem Kurnain dan Tri Wayhuningsih.

“Kita berangkat tanggal 10 Desember malam, rencananya 18 orang, tetapi empat batal ikut,sementara Farizal pun tidak berangkat, tetapi sudah mengembalikan uang melalui ketua fraksinya,” beber Nursyahbana.

Dilanjutkan Nursyahbana jika pelaporan ke KPK murni inisitif dewan sendiri dan tidak ditunggangi oleh kepentingan apapun.

” Kita lapor BK dulu kemudian baru ke KPK, lapor ke BK karena ini lembaga, terlepas dia dari fraksi PDIP atau bukan, kalaupun BK tidak merespon saat itu pun kita tetap melapor ke KPK. Dan mengapa kita lapor ?karena ini murni dari hati nurani tidak ada kepentingan yang menunggangi,”kata Politisi Golkar ini seraya mengatakan ketua BK ikut mendampingi saat laporan ke KPK,tetapi tidak turut mengembalikan Uang ke KPK lantaran dirinya tidak menerima uang seperti Anggota DPRD lainnya.

Pemberian uang kepada anggota DPRD ini lanjut Nursyahbana awalnya yang ia ketahui hanya 18 orang, namun seiring waktu berjalan, ternyata sudah ada 25 anggota dewan yang mengembalikan, namun ia tidak bisa merinci siapa-siapa orang yang mengembalikan uang. Kemudian saat ditanya lebih lanjut apakah ke 45 dewan juga menerima uang. Ia belum bisa memastikannya.

“Saya tidak mau meraba-raba, yang jelas berdasarkan informasi diterima sudah 25 yang mengembalikan, meraka ini takut, kan ada aturannya jika dalam 30 hari tidak memulangkan dapat dijadikan tersangka oleh KPK,” sebutnya.

Kemudian saat ditanya lebih jauh mengenai motif apa yang mendasari laporan ke KPK Nusyahbana enggan membeberkannya.

” Kalau itu saya tidak mau berkomentar, nanti saja, satu-satu dulu, yang jelas apa yang saya sampaikan adalah kronologisnya dulu,” pungkas Nursyahbana.

Respon positif datang dari LSM GRPK atas langkah Dewan Kabupaten Tanggamus terhadap indikasi suap oleh Bupati setempat seperti lansir HARIANFOKUS.COM edisi 24 Desember 2015.

Bupati Tanggamus, Bambang Kurniawan layak jantungnya berdetak lebih kencang. Aliansi Gerakan Radikal Pemberantas Korupsi (GRPK) bersama puluhan lembaga anti korupsi lainnya dijadualkan menggelar orasi di Kantor Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Terkait hal ini, Ketua Umum GRPK Ariefuddin membeberkan indikasi Bambang Kurniawan, melakukan penyuapan terhadap anggota DPRD setempat guna melancarkan pengesahan APBD 2016. Bukan itu saja, Arifuddin juga membawa temuan indikasi penyimpangan realisasi APBD Kabupaten Tanggamus Tahun 2014

Seperti realisasi bantuan hibah dan keuangan yang tidak jelas laporan pertanggungjawabannya senilai Rp 9,913 Miliar lebih, pekerjaan perkerasan permukaan jalan tidak sesuai kontrak senilai Rp 1,9 Miliar lebih dan indikasi penggelembungan pembelian printer pada sejumlah SKPD Kabupaten Tanggamus.

“Dalam waktu dekat,GRPK bersama LSM lainnya segera berangkat ke Kantor Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kami akan melaporkan indikasi penyuapan anggota DPRD Kabupaten Tanggamus oleh bupati setempat untuk memuluskan pengesahan APBD Tahun 2016. Selain menyerahkan laporan, juga digelar spanduk dan orasi anti korupsi oleh berbagai perwakilan LSM yang berangkat ke Jakarta,”katanya, Rabu (24/12/2015) Kepada HARIANFOKUS.COM

Hasil pulbudget GRPK dan LSM lainnya, BUPATI Tanggamus Bambang Kurniawan ST dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyuapan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) setempat.

Mereka menyambangi KPK sambil membawa barang bukti uang berjumlah total sekitar mencapai Rp 730 juta Dana itu diduga jatah bagi para anggota dewan,diantaranya Partai Golkar, Nursabana Rp 40 juta, Agus munada Rp 65 juta, Hailina Rp 30 juta,  Heri Ermawan Rp 30 juta. Dari Partai Galindra, Herlan Adianto Rp 65 juta, Sumiyati Rp 40 juta, Diki Fauzi Rp 30 juta, Farizal Rp 30 juta.

Lalu dari Partai PPP, Baharen Rp 65 juta, Ahmad Farid Rp 30 juta, Budi Sehantri Rp 30 juta. Dari Paartai Nasdem, Kurnain Rp 40.000.000, Imron Rp 30.000.000. Dari PAN, Muhktar Rp 30 juta, Tedi Rp 65 juta. Dari Partai PDIP, Buyung Zainuddin Rp 40 juta,  Irwandi Suryalaga Rp 40 juta. Dari Partai Demokrat, Ahmaddian Rp 30 juta.

Mereka mendatangi KPK pada Senin (14/12) lalu, dan mengaku bahwa dana tersebut berasal dari Bambang Kurniawan. Tujuan pemberian dana supaya dewan menyetujui APBD 2016. Dana diberikan kepada semua anggota DPRD melalui ketua fraksi masing-masing. Dalam hal ini perantaranya adalah Pahlawan Usman dan Ikhwani.

Mendapati kenyataan itu, sejumlah anggota dewan berpikir bahwa, selama ini perjalanan APBD Tanggamus agar mulus dalam penggodokannya maka dilakukan penyuapan dan itu menurut mereka para pelapor tidak pantas.

Kemudian ke-14 anggota dewan ini juga mengancam anggota dewan lainnya supaya ikut memperkuat bukti pelaporan terhadap Bambang. Apabila tidak melakukannya, mereka pun akan ikut jadi tersangka karena sebagai pihak penerima suap.

Menanggapi hal ini Yoyok Sulistyo, salah satu anggota DPRD Tanggamus mengaku, dirinya tidak pernah menerima uang pelicin untuk penyetujuan APBD itu. “Masalah ini juga baru saya tahu dari media massa, sebab sampai saat ini  tidak ada yang memberikan uang kepada saya sepeserpun,” katanya, Selasa (22/12).

Ia juga mengklaim tidak mengetahui adanya pertemuan dalam hal kesepakatan pemberian suap. Sebab dari pembahasan sampai APBD disahkan menurutnya tidak pernah rapat sama sekali yang mengundang semua anggota dewan, terlebih pembahasannya terkait lobi dana pelicin. “Tidak ada juga yang mengajak saya rapat, saya juga baru tahu dari pemberitaan. Dan saya sama sekali tidak tahu masalah ini. Ini masalah mereka (14 anggota dewan),” ujar Yoyok.

Lantas terkait ancaman supaya memusuhi Bambang, anggota dari Fraksi PDIP ini mengaku tidak semudah itu, sebab dirinya tidak menerima dana dari Bambang. Sehingga tidak ada dasar untuk mendukung atau memusuhi Bambang. “Untuk hal itu saya tidak berkomentar, saya tidak tahu juga substansi mereka melaporkan ke KPK,” kilahnya.

Kemudian anggota dewan lainnya yakni AM Syafii sebelumnya saat dikonfirmasi  juga mengaku tidak tahu, dan tidak mengerti masalah ini dan bersikap tidak mendukung pihak mana pun. Terkait dugaan suap, dirinya mengaku tidak tergoda sama sekali masalah dana itu. “Saya tidak tahu ada dana itu, dan tidak tahu juga masalahnya,” ungkap AM Syafii yang juga Politisi PDIP itu.

Sementara itu,pengakuan dari Bambang sendiri selaku terlapor mengaku, dirinya tidak pernah melakukan penyuapan kepada siapa pun untuk membahas APBD 2016. “Tidak ada penyuapan itu, saya tidak pernah menyuap. Pembahasan APBD sudah disetujui, sudah disahkan jadi apalagi yang mau disuap. Saya juga bingung, dan ini saya pikir mengada-ada. Silahkan tanyakan kepada pihak yang melaporkan, apa motifnya,” ujar Bambang.

Sayangnya para anggota dewan yang diduga pelapor sendiri tidak ada satupun yang bisa di hubungi untuk masalah ini, bahkan mereka tidak nampak di DPRD dan no hp juga tidak aktif.

Sementara Berdasarkan informasi yang didapat dari sumber terpercaya, memang saat pembahasan APBD 2016 terjadi perdebatan sengit antara pihak legislatif dalam hal ini Badan Anggaran dan pihak eksekutif atau jajaran sakter di Pemkab Tanggamus.

Dari semuanya itu bermuara pada permintaan fasilitas bagi anggota dewan, pertama, anggota dewan meminta tunjangan uang sewa rumah sebesar Rp 9 juta perbulan. Ini tidak disetujui oleh Bambang karena beban anggaran terlalu besar nantinya. Meski tidak disetujui sejumlah itu, namun anggota dewan tetap menerima tunjangan serupa Rp 4 juta per bulan.

Permintaan kedua adalah perjalanan dinas. Jika selama ini uang perjalanan dinas dianggarkan Rp 500 ribu per hari, maka dewan minta tiga kali lipat yakni Rp 1,5 juta per hari. Ini pun tidak disetujui oleh pihak eksekutif karena ujungnya berimbas pada pemborosan dana juga.

Permintaan ketiga adalah, anggota dewan diberi keleluasaan memasukan tenaga kerja sukarela (TKS). Ini pun bertentangan dengan keputusan Bambang selama ini yang memutuskan menyetop penerimaan TKS.

Tujuannya untuk efisiensi dana bagi belanja pegawai dan menghilangkan mafia rekrutmen TKS. Sebab banyak TKS yang sebelum masuk dimintakan Rp 15-25 juta kepada pihak tertentu agar menjadi TKS dengan iming-iming akan diangkat jadi PNS.

Dari ketiga hal itulah yang membuat para anggota dewan kecewa kepada Bambang dan mengancam tidak menyetujui APBD 2016. Namun akhirnya mereka menyetujui APBD tahun mendatang untuk dijadikan Peraturan Daerah (Perda) sebelum masuk 2016. Sebab jika disahkan di tahun 2016 maka APBD hanya menjadi Peraturan Bupati (Perpub).

Dampak APBD hanya menjadi perbup bukan perda, maka semua pejabat politik seperti anggota dewan, bupati dan wakil bupati tidak menerima gaji. Kasus ini sempat terjadi di Lampung Utara pada awal tahun 2015.(ODO/GIH)

 

 

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *