248 views

Multi Profesi

SELEPAS jogging di kawasan PKOR Way Halim, Dinda ngajak Gilang mencari sarapan.

“Mau sarapan apa, dek?!” tanya Dinda sambil menuju ke beberapa tenda penjual makanan.

“Terserah mbak aja!?” sahut Gilang.

“Itu ada soto ayam, lontong sayur, nasi uduk! Maunya adek apa, mbak ikut aja!”

“Lontong sayur aja kali ya, mbak!?”

Akhirnya Dinda dan Gilang masuk ke tempat penjual lontong sayur. Pesanlah mereka dua piring makanan untuk sarapan.

Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika penjual lontong sayur mengantar pesanan ke meja.

“O ibu..! Maaf bu, enggak tahu kalau ibu yang jualan!” ucap Dinda dengan suara terbata.

Gilang spontan berdiri dan menyalami penjual lontong sayur itu dengan penuh hormat.

Sang penjual lontong sayur hanya tersenyum sambil menyilahkan mereka makan. Buru-buru Dinda dan Gilang menyelesaikan sarapannya. Bahkan Dinda beri isyarat pada Gilang untuk tidak usah menghabiskan sepiring sarapannya. Setelah membayar, mereka keluar tenda dagangan.

“Enggak nyangka ya mbak! Kok ibu guru sosial itu jual lontong sayur!” ucap Gilang sambil buru-buru menjauh dari tempat sarapan yang ternyata sang penjual adalah gurunya.

“Ya mbak juga kaget, dek! Enggak nyangka juga! Padahal ibu guru penampilannya di sekolah keren dan baik bener!” sahut Dinda.

“Ayo buru-buru pulang, mbak! Kita naik ojek ajalah, biar cepat sampai rumah! Adek enggak kuat lagi kalau pulangnya jalan kaki!” kata Gilang.

Bergegas keduanya mencari pengojek. Setelah ketemu, sang pengojek yang menutup wajahnya dengan helm itu sepakat mengantar mereka pulang.

Pengojek memberi satu helm di motornya ke Dinda. Spontan dia membuka helmnya dan menyerahkan ke Gilang untuk dipakai.

“O, pak…! Maaf, pak!” seru Gilang sambil menerima helm yang disodorkan pengojek. Sang pengojek hanya tersenyum. Sepanjang jalan, Dinda dan Gilang hanya diam, hingga sampai rumah.

“Haduuuhhh, jantung adek sampai mau copot rasanya selama jalan tadi, mbak! Enggak nyangka kalau pengojek itu wali kelas adek!” kata Gilang sambil membuka sepatunya.

“Kejadian aneh yang kita alami pagi ini, dek! Penjual lontong sayur ternyata guru sosial di kelas mbak, dan pengojek itu wali kelas adek!” ucap Dinda.

“Iya ya, mbak…! Benar-benar enggak nyangka ya?! Guru-guru yang kalau di kelas sangat kita hormati, sangat baik dalam memberi pelajaran, ternyata diluar sekolah pedagang lontong sayur dan pengojek! Prihatin ya mbak kalau begitu nasib para guru itu!”

“Iya memang, kehidupan para guru sesungguhnya cukup memprihatinkan, dek! Padahal mereka-mereka itu pencetak generasi emas anak bangsa! Perhatian pemerintah juga masih sangat minim! Jadi ya wajar saja kalau banyak guru yang akhirnya menjalankan praktik multi profesi!” kata Dinda.

“Memang susah-susah benar ya mbak kehidupan para guru itu?!”

“Mayoritas memang susah, dek! Dalam konteks penghargaan atas profesi keguruannya bisa dibilang sangat jomplang dibandingkan profesi lain! Misalnya saja, dana sertifikasi yang menjadi satu-satunya harapan untuk membayar kreditnya saja sekarang ini di Kota Bandarlampung enggak jelas bagaimana ceritanya! Apalagi nasib guru honor, lebih susah lagi, dek!”

“O guru honor lebih susah ya, mbak?!”

“Iya dek! Mereka lebih enggak ada penghargaannya! Bayangin aja, mulai 2017, sebulannya cuma akan dikasih honor melalui Disdik Provinsi Lampung sebesar Rp 200.000 untuk guru SMK dan SMA. Kebayang enggak, untuk ongkos mengajar aja enggak cukup, gimana mau bisa beli beras dan lain-lain dek! Sementara mereka dituntut menjalankan tugas dengan profesional, tidak boleh meninggalkan sekolah selama jam sekolah!” urai Dinda.

“Kehidupan guru yang sangat susah beginikan sebenarnya sudah belasan tahun ya, mbak! Kok enggak ada keseriusan pemerintah memprioritaskan kesejahteraan mereka sih!”

“Ini sudah salah dari sononya, dek! Guru itu kan disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa! Jadi yang dipahami para pengambil kebijakan itu ya para guru adalah pahlawan! Yang namanya pahlawan itu kan melakukan sesuatu yang luar biasa tanpa pamrih apa-apa! Sudah begitu tanpa tanda jasa pula, jadi ya akhirnya selalu diremehkan! Dianggap enggak perlu dikasih sesuatupun yang bisa membanggakan dirinya!” kata Dinda.

“Apa para petinggi pengambil kebijakan itu lupa kalau kehebatannya sekarang ini berkat ajaran para guru ya, mbak?!”

“Bukannya lupa sih dek, dilupa-lupain! Maka jangan heran kalau banyak petinggi pengambil kebijakan yang akhirnya melakukan hal-hal yang tidak baik! Karena mereka melupakan ajaran para guru yang jelas-jelas menebarkan kebaikan! Multi profesi yang dijalani para guru sekarang ini adalah potret nyata betapa kita semua terkungkung dalam rangkaian kata penghargaan tidak nyata bagi mereka! Yang perlu diingat, siapapun yang tidak menghormati dan menghargai guru maka pada suatu saat dia akan direndahkan pula oleh Tuhan!” tutur Dinda lagi. (ยค)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *