20 views

Belajar Nguwongke

MENYAMBANGI sebuah pondok pesantren yang cukup terpencil di kaki Gunung Betung, dirasakan Dinda bak siksaan.

“Nyantai aja sih, mbak? Kita kan lagi mau ikuti acara imtihan (ulang tahun) pondok! Ini pengalaman menarik lo, sekaligus menantang!” bisik Gilang ke telinga Dinda setelah dilihatnya berkali-kali Dinda tampak duduk tidak tenang.

“Mbak kan nggak biasa duduk gini, dek! Mana cuma semen doang, nggak ada alasnya sama sekali! Bisa-bisa masuk angin!” ketus Dinda.

“Dibawa enjoy aja makanya, mbak! Kita coba nyatu dengan suasana disini! Melebur dengan tradisi yang ada! Yang ikhlas makanya dong, jadi nggak berat jalaninya!”

“Adek bisa ngomong nyantai dan enjoy aja, mbak yang ngerasainnya bisa kesemutan ni kaki! Ikhlas itu nggak untuk hadir di acara beginian, dek!”

“Mbak, prosesi acara imtihan sebuah pondok pesantren itu acara sakral lo! Ibarat kita rayain ulang tahun! Akan banyak doa puja-puji, penghibaan, pengharapan dan optimisme nanti dilantunkan! Syiarnya sampai ke langit ketujuh tau, mbak! Langsung didengar oleh Sing Gawe Urip, begitu warga pondok ini menyebut Tuhan Seru Sekalian Alam!” kata Gilang.

“Ah, adek sok tau aja! Pernah juga belum ikut acara kayak begini?!” sela Dinda.

“Adek kan baca-baca di internet, mbak! Lagian, bila dilandasi dengan keikhlasan yang tinggi, ikut acara ini akan banyak nilai yang kita petik lo, mbak! Utamanya nilai ke-Ilahian, nilai ke-nisbi-an kita sebagai makhluk, nilai kerentanan kita yang tak lebih sekadar wayang mengikuti penugasan sang dalang! Dan yang penting juga adalah belajar nguwongke!”

“Apa pula belajar nguwongke itu, dek? Bikin istilah jangan seenaknya aja!” ucap Dinda masih dengan wajah bersungut-sungut.

“Maksudnya belajar menghargai orang, mbak! Menghargai pilihan orang! Menghargai perjuangan orang untuk menapaki kehidupan!”

“Terus kalo sudah belajar nguwongke apa??!!”

“Ya akan menyadarkan kita bahwa kita sama-sama makhluk di muka bumi ini! Sama-sama ciptaan Sang Khalik! Dan karena kesamaan derajat dan hakekat itu hendaknya sesama kita tidak saling menghujat! Tidak saling mendiskreditkan! Tidak saling menilai dari perbedaan keberadaan!” urai Gilang.

“Terus kalo di acara imtihan kayak begini masih ada yang disiapkan tempat khusus padahal belum dateng, sedang kita semua sudah berjam-jam duduk ngedeprok di lantai gini, apa yang ditunggu itu juga mau belajar nguwongke, dek?!”

“Mbak, yang disediakan tempat khusus dan belum hadir itu petinggi disini! Pejabat disini! Kan memang harus dimuliakan yang namanya pimpinan itu, mbak! Bahwa pondok menyediakan tempat khusus, itulah wujud penghargaan dan penghormatan bagi sang pimpinan!”

“Jadi tetep ada bedakan antara kita-kita, para penghuni pondok dengan yang disebut sang pimpinan itu, dek?!”

“Beda dalam konteks penghargaan lahiriyah, itu sesuatu yang lumrah, mbak! Bukan hal yang berlebihan! Justru dengan akan datangnya sang pimpinan di wilayah ini membuktikan kalo sang pimpinan sudah duluan belajar nguwongke itu, mbak!”

“Bagaimana kalo yang disebut sang pimpinan itu sampai acara selesai nggak muncul juga, dek?!” sela Dinda.

“Jangan berandai-andai, mbak! Apalagi berkonotasi negatif! Kalo pun terpaksa harus mengandai-andaikan, berandailah yang positif! Itu akan membuat jiwa dan pikiran selalu optimistik!” jelas Gilang.

Mendadak, ruangan tempat prosesi imtihan dikejutkan dengan masuknya seorang pria berkopiah dengan pakaian basah kuyup.

“Siapa itu, dek? Bajunya kuyup gitu kok langsung disambut dan dipersilakan duduk?!” tanya Dinda.

“O, itu sang pimpinan, mbak! Yang ditunggu-tunggu sejak tadi itu!” ucap Gilang.

“Kok basah kuyup begitu bajunya, dek? Mestinya kan ada yang kasih payung dong waktu dia turun dari mobilnya! Lagian yang namanya sang pimpinan kan pasti punya ajudan dan pengawal! Kok dibiarkan saja bosnya sampai basah kuyup begitu?!” kata Dinda.

“Ya secara lahiriyah memang wajarnya begitu, mbak! Tapi kan kita nggak tau kalo Tuhan berkehendak, mbak! Bisa saja si ajudan dan pengawal dibutakan mata batinnya hingga urusan sepele menyiapkan payung saja menjadi luput! Kejadian ini selayaknya jadi pelajaran buat kita ya, bahwa belajar nguwongke itu mesti dilakukan dan dipraktekkan dalam keseharian! Agar seberat apapun tugas ke-Ilahian yang diberikan kepada kita, terasa ringan dan penuh keberkahan!” tutur Gilang.

“Wah, adek sudah kayak pak ustad aja! Baru setengah jam hidup di lingkungan pondok?!”

“Ya kita kan harus menyesuaikan diri dong, mbak! Sedang apa dan dimananya kita saat ini! Menempatkan diri dengan baik adalah bagian dari ibadah dan ibadah yang paling sederhana adalah mengingatkan untuk kebaikan!” kata Gilang sambil menaruhkan kepalanya di bahu Dinda. Ngalem! (ยค).

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *