36 views

Soal Sekubal

“MBAK, makanan apa sih itu? Kayaknya mbak semangat bener ngebukain tali temalinya! Emang enak ya?!” ucap Gilang saat ikut hadir acara keluarga di Menggala, Tulangbawang, sore tadi.

“Ini namanya sekubal, dek! Makanan Khas keluarga kita di Menggala! Adanya waktu acara-acara tertentu aja! Dihidangkan buat dinikmati para tamu dan anggota keluarga! Cita rasanya Khas banget, enak!” kata Dinda.

“O gitu ya? Tapi ngebukanya ribet gitu ya, mbak? Harus lepasin tali-talinya dulu! Bukain daun pisang pembungkusnya pelan-pelan! Baru ketemu makanannya!”

“Itulah seninya makan sekubal itu, dek! Harus sabar, telaten, dan penuh kehati-hatian dalam ngebukanya! Ini makanan khas warisan nenek moyang kita! Jadi, kita wajib melestarikannya, dek! Kearifan lokal kayak gini patut kita pertahankan!”

“Emang nggak kekenyangan tah kalo makan satu sekubal itu, mbak! Kan bentuknya panjang dan gendut gitu?!”

“Ya nggaklah, dek! Kan setelah kebuka semua penutupnya, bentuk sekubal itu sudah dipilah-pilah! Disusun selapis-selapis! Sudah dicetak sebelumnya begitu! Biasanya dimasukin dalam bambu masaknya! Jadi makannya ya sesuai kebutuhan kita aja! Nggak sama dengan arem-arem!”

“Dibuat dari apa sih sekubal itu, mbak?!” tanya Gilang.

“Dari ketan, dek! Kalo buras, dibuatnya dari beras! Makanya kalo ada sekubal, pasti disiapin tempat cuci tangan! Karena lengket di tangan! Cara makannya, setiap lapisannya dicocolin ke bumbu-bumbuan! Bisa rendang dan lain sebagainya! Enak lho, dek! Gurih dan bercita rasa tersendiri! Pokoknya; mak nyuuuss!” ujar Dinda sambil terus membuka tali-tali yang mengikat bungkusan sekubal di tangannya.

“Tapi ribet ya, mbak! Nggak praktis mau makannya! Perlu waktu lama!” sela Gilang.

“Itulah mbak bilang tadi, dek! Untuk makan sekubal itu perlu kesabaran, telaten, dan kehati-hatian! Nenek moyang kita kan selalu menitipkan pesan kehidupan pada berbagai sisi kehidupan, dek! Termasuk dalam makanan jenis sekubal ini!”

“Maksudnya, mbak..?!”

“Kan sebenernya bisa aja sekubal ini dibuat mudah untuk dimakan! Tapi sama nenek moyang kita kan nggak dikemas gitu! Dibungkus daun pisang dulu ketannya setelah dibuat lapis-lapis! Abis itu ditaliin pula! Masaknya pun di bambu, dengan api dari kayu bakar! Ini bukan nyusahin sebenernya, namun menularkan kepada anak cucu bahwa hidup itu tidak serba instan! Ada proses yang harus dilakoni! Ada perjuangan dulu sebelum meraih sukses!” urai Dinda.

“O, jadi sebenernya makanan jenis sekubal ini nyimpen pesen bijak dari nenek moyang kita ya, mbak?!”

“Pastinya ya gitulah, dek! Nenek moyang kita, atau orang-orang jaman dulu, selalu menyelipkan falsafah kehidupan pada banyak hal! Sikap-sikap bijak, perilaku dan tutur kata yang baik, serta banyak lagi lainnya! Termasuk dalam urusan makanan, kayak sekubal ini! Tinggal kita sebagai penerusnya mampu nggak metik nilai yang tersembunyi di baliknya!” kata Dinda.

“Itu sebabnya maka obrolan kita bertajuk ‘Sekubal’ ya, mbak? Karena mbak pengen nitipin pesen kalo buat mahamin obrolan ringan kita perlu telaahan! Kesabaran, telaten, dan kehati-hatian, biar nggak berpraduga atau nyimpulinnya jadi salah kaprah ya?! Walo kadang saklek!” sela Gilang.

“Cerdas emang adek ini! Ngerti aja yang mbak maksud! Yang kita perlu sadari, nggak semua maksud baik kita akan diterima dengan baik pula oleh orang lain! Tapi terus aja berbuat baik, menebarkan kemanfaatan, karena tak ada yang sia-sia dalam apapun yang kita lakukan! Walo untuk akhirnya bisa tau kebaikan itu, ngupasnya perlu ketelatenan dan kesabaran! Kayak kita nikmati sekubal ini!” tutur Dinda seraya nyocolin selapis demi selapis sekubal di tangannya ke piring kecil berisi rendang; mak nyuusss! (ยค)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *