44 views

Bicara Nyaman

“ADEK, ini lagi ujan deres lo! Bantuin dulu mbak angkatin jemuran ini,” kata Dinda.

“Nyantai aja sih, mbak! Nggak usah pakai teriak-teriak!” sahut Gilang.

“Mbak teriakkan karena takut adek nggak denger! Tadi kan adek di kamar, nggak tau kalau adek sudah pindah ke ruang keluarga!”

“Makanya ngadepin apa-apa itu jangan gupekan, mbak! Slow aja! Tapi terarah!”

“Ya gimana nggak gupeklah, dek! Cucian yang sudah dijemur dari pagi bisa basah lagi kalau nggak buru-buru diangkat! Mana ujannya langsung deres gitu kan?!” ucap Dinda.

“Iya, adek juga paham kok, mbak! Kalau terlambat ngangkatin, jemurannya basah kuyup lagi! Kasian Mama sudah pagi-pagi nyuci, pulang kantor kok malah basah lagi!” kata Gilang.

“Ya karena itu makanya mbak tadi teriak manggil adek! Jadi pahami juga cara mbak tadi!” lanjut Dinda.

“Adek paham kok, mbak! Cuma mulai kurangilah kalau ngadepin apa-apa itu langsung gupek! Tetep tenang dan enjoy aja kan bisa!” sela Gilang.

“Ini kan emang bawaan mbak, dek! Sudah karakter! Susahlah ngerubahnya!”

“Nggak ada yang nggak bisa dirubah dalam hidup ini, mbak! Sepanjang ada kesadaran, kemauan dan kesungguhan! Jangan sedikit-sedikit minta pengertian atas nama karakter! Nanti lama-lama mbak susah buat nerima masukan dari orang lain! Klimaksnya mbak jadi avonturir!” urai Gilang.

“Nggak seekstrim gitu juga kali, dek! Yang penting itu kan tetep enak-enak aja jalani kehidupan dengan karakter kita sendiri!” ujar Dinda.

“Mbak, dalam ngukur sesuatu itu bukan enak-enak aja! Tapi nyaman apa nggak!”

“Ya enak-enak aja itu kan nyamanlah, dek!” tukas Dinda.

“Nggak gitu, mbak! Kalau ukurannya enak itu pasti akan ketemu dengan nggak enak! Tapi kalau nyaman, ukurannya bukan soal karakter, kondisi atau posisi kita! Melainkan lebih pada gimana suasana hati!” tutur Gilang.

“Misalnya kayak mana?!” tanya Dinda.

“Kayak ngadepin urusan virus corona berbulan-bulan ini! Dominannya kan nggak enak itulah yang kita rasain! Juga banyak yang ngerasa nggak nyaman lagi jalani kehidupan keseharian! Tapi kalau hati kita terus terkelola dengan baik, ya tetep nyaman itulah yang kita rasain!” kata Gilang.

“Jadi buat tetep nyaman itu lebih pada kebisaan kita kiati situasi yang ada dengan pendekatan hati ya, dek!” kata Dinda.

“Iya, bener itu, mbak! Hidup penuh keenakan pun kalau hati gundah, ya nggak bakal nyaman! Jadi mulailah kita jalani keseharian dengan ngedepanin pendekatan hati! Bukan perilaku atau karakter yang bisa dilihat mata! Karena sudah terlalu banyak praktik kehidupan yang secara lahiriyah keliatan bahagia, tapi sebenernya sebaliknya! Pun yang keliatannya susah, ternyata hatinya tetep nyaman! Persoalannya nggak mudah buat kita pahami apakah seseorang itu hidup dalam keenakan ataukah kenyamanan!” ucap Gilang lagi. (*)

Bagikan berita ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *